“Om Swastyastu”
Semoga pikiran yang baik selalu datang dari segala penjuru
Salam persaudaraan bagi seluruh umat se-Dharma. Kita semua pastinya sudah sangat awam dengan ucapan “astungkara”. Baik dalam pergaulan antar umat se-Dharma maupun dalam kehidupan jamak sehari-hari, kita sudah pastinya pernah ataupun sering mempergunakan ungkapan “astungkara” untuk berkomunikasi dengan orang lain. Penggunaan ungkapan ini sebenarnya muncul sebagai salah satu jawaban atas kebutuhan umat dalam pergaulan sehari-hari. Umat sering membanding-bandingkan istilah-istilah yang sering diucapkan oleh umat lain dalam berekspresi dengan istilah yang ada di agama Hindhu sendiri. Akibatnya, umat sering memadankan beberapa istilah yang ada di agama Hindhu untuk disamakan dengan istilah yang ada di agama lain sehingga bisa digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Namun, hal itu menyebabkan banyak sekali munculnya kontroversial mengenai penggunaan istilah-istilah Hindhu dalam kehidupan sehari-hari. Bagi beberapa pihak, penggunaan beberapa istilah dirasa kurang tepat dan tidak sesuai untuk dipergunakan dalam mengekspresikan beberapa hal. Salah satu istilah yang sering diperbincangkan mengenai penggunaannya ialah istilah “Astungkara”.
Istilah “Astungkara” pada umumnya dipahami oleh umat sebagai istilah untuk menunjukkan ekspresi “semoga”. Jadi dalam pergaulan sehari-hari, orang-orang akan mempergunakan Istilah ini untuk menunjukkan bahwa suatu kegiatan atau rencana semoga dapat dijalankan. Contohnya sebagai berikut :
A: Besok kamu bisa datang ke acara potong gigi kakakku?
B: Oh iyaaa, astungkara yaaaaaaaaaa!!!!
B ingin menunjukkan bahwa “iya, semoga aku bisa datang”. B ingin menunjukkan bahwa “jikalau Tuhan tidak memberikan ia halangan, maka ia akan datang”. Penggunaan makna inilah yang bagi beberapa pihak dirasa tidak tepat dan tidak sesuai dengan tujuan pengucapan istilah ini sehingga menyebabkan suatu perdebatan di masyarakat. Lalu bagaimanakah kita dapat menyikapi perdebatan ini? Namun, sebelum kita menyikapinya, marilah kita lihat dahulu, perdebatan seperti apa yang ada seputar istilah tersebut.
Perdebatan mengenai Makna Istilah “Astungkara”
Astungkara berasal dari bahasa Sansekerta (yang berkata ”astu”) mengakui, mengiyakan dengan segan, “perkataan astu”. Kata Astungkara termuat dalam Atarwa Veda (9.4 ) (Zoemulder, Kamus Jawa Kuna, 1995). Kata astu artinya semoga terjadi (ibid, 73).
(Majalah Hindhu Raditya – 5 Juni 2011)
Secara sepintas, kita pasti akan langsung beranggapan bahwa istilah “astungkara” berarti “semoga”. Namun, beberapa pihak merasa tidak setuju untuk mempergunakan kata “astungkara” untuk menunjukkan ekspresi “semoga”. Astungkara lebih mengarah pada suatu puja kepada Ida Shang Hyang Widhi Wassa. Konsep pengucapan astungkara adalah untuk menghadirkan kekuasaan Tuhan yang tidak terhingga dan tak terbatas dalam setiap keanekaragaman sangat besar yang kita saksikan bila memandang jagat raya ini (Majalah Hindhu Raditya - Astungkara, Sebuah Kreativitas untuk Identitas Hindhu).
Masyarakat kini sudah terlalu biasa mempergunakan istilah “astungkara” untuk menunjukkan makna “semoga”. Lalu apakah masyarakat sekarang ini memang benar-benar keliru dalam mempergunakan istilah ini atau tidak? Apakah kita mesti mempermasalahkan perdebatan yang terjadi kini? Hal ini tidak bisa kita jawab dengan pasti, karena kebanyakan perdebatan tersebut muncul akibat adanya persepsi pribadi manusia yang terbawa secara umum. Padahal istilah ini intinya mengacu pada keagungan kita akan Tuhan melalui kearifan yang ada di agama kita.
Pada umumnya, Istilah-istilah, seperti “astungkara”, digunakan oleh masyarakat untuk menunjukkan ekspresi mereka kepada orang lain. Istilah umumnya mengandung suatu substansi yang merupakan makna mendasar dan tujuan yang ingin dicapai setelah istilah itu dipergunakan. Substansi dapat dipahami secara universal, berbeda dengan istilah. Jika suatu istilah dibuat dengan mempergunakan suatu bahasa, maka istilah tersebut akan berbeda jika disajikan dalam bahasa yang berbeda. Namun, walaupun penyajian istilah tersebut mengalami perubahan, sebenarnya istilah tersebut tetap membawa suatu substansi yang tetap dan memiliki makna yang sama secara mutlak.
Substansi dapat dipertahankan dan dapat membuat suatu istilah tertentu, yang sebenarnya bukan ditujukan untuk menunjukkan suatu substansi tertentu, mengalami perubahan substansi. Jikalau kita masih bisa mempertahankan suatu substansi, walaupun kita mengucapkan istilah lain untuk menunjukkannya, pada intinya kita telah mengarah pada suatu substansi yang benar secara mutlak. Jadi sebenarnya, perdebatan mengenai penggunaan istilah ini bukanlah suatu hal yang besar untuk dipermasalahkan. Intinya, masyarkat harus tetap bisa mempertahankan substansi yang ada dalam istilah tersebut dan tidak menghilangkannya. Saya rasa suatu hal yang percuma jikalau nanti penggunaan istilah “astungkara” sudah benar, namun masyarakat tidak tahu substansi sebenarnya yang terkandung di dalam istilah tersebut. Jadi, di sinni saya tekankan, bahwa perdebatan mengenai penggunaan istilah ini bukanlah hal yang seharusnya kita permasalahkan.
Fakta lain dibalik perdebatan mengenai istilah “astungkara”
Selain menimbulkan perdebatan mengenai penggunaan istilah ini secara benar, maraknya penggunaan istilah ini di masyarakat juga sedang menimbulkan suatu permasalahan besar yang saya sebut secara pribadi sebagai suatu “Kemerosotan Makna Astungkara”. Saya tidak membahas mengenai apakah istilah astungkara itu memang benar untuk digunakan dalam makna “semoga” atau tidak, tetapi saya menyoroti mengenai kemerosotan prilaku masyarakat yang membuat Istilah ini mengalami kemerosotan secara drastis. Kenapa saya bisa katakan seperti itu, coba perhatikan percakapan umum ini :
A : Eh, besok kamu bisa bantu aku untuk menabuh Rindik di acara pernikahanku jam 08.00 pagi tidak?
B : Iya, astungkara.
B menjawab “iya, Astungkara”, padahal ia sudah jelas-jelas tahu bahwa pada jam yang diminta oleh A, ia ada janji dengan kawannya. Namun, karena ia merasa janji tersebut masih belum jelas dan pasti, maka si B mengiyakan tawaran yang diberikan oleh A. Lalu, karena si B mengatakan “iya”, si A menangkap bahwa si B akan membantu dirinya untuk menabuh rindik besok. Saat keesokan harinya, si B tidak datang dan tidak dapat dihubungi karena janjinya. Ketidakdatangan si B membuat acara pernikahan tersebut berjalan tanpa diiringi Rindik. Hal ini dikarenakan si A menangkap maksud si B, bahwa si B akan datang “iya, semoga aku datang dengan ijin Tuhan dengan tanpa diberikan halangan” . Bukankah si B seharusnya memastikan terlebih dahulu bahwa ia bisa atau tidak sebelum mengatakan “iya, astungkara”? Jadi, apakah “astungkara” itu menunjukkan suatu yang belum pasti?
Inilah yang saya sebut dengan kemerosotan. Saya sering mengalami suatu kerugian saat berjanji dengan teman saya saat mereka mengatakan “Iya, astungkara”. Jika “astungkara “ sudah digunakan sekarang untuk menghiasi kata “iya” dan “tidak”, maka itu berarti belum pasti. Jika anda berjanji dengan teman anda, dan dia mengatakan “iya, astungkara” maka itu belum pasti menyatakan bahwa teman anda akan menepati janjinya tersebut. Pergaulan sehari-hari telah membuat istilah “astungkara” merosot sehingga istilah tersebut membuat suatu persepsi baru dalam masyarakat bahwa suatu jawaban yang disertai dengan kata “astungkara” memiliki makna yang belum pasti.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita sebagai umat Hindhu. Saat istilah “astungkara” ini berkembang dengan sangat pesat di masyarakat, ada saja masyarakat yang secara tidak bertanggung jawab, mereka membuat istilah ini merosot, walaupun itu mereka lakukan secara tidak sengaja. Jikalau kemerosotan ini terus berkembang, maka tidak mengherankan bahwa masyarakat akan tidak mempercayai semua jawaban yang diberi embel-embel “astungkara”, karena semuanya menunjukkan suatu hal yang belum pasti. Bahkan saya sendiri memperhatikan di pergaulan saya sehari-hari sebagai seorang umat Hindhu, jika saya mengajak seseorang dan orang tersebut menjawab dengan embel-embel “astungkara”, maka itu sama saja dengan jawaban “tidak”. Bukankah ini merupakan suatu hal yang kurang tepat jika terus berkembang di masyarakat kita.
Kita seharusnya tidak boleh melindungi diri kita sendiri dengan istilah “astungkara”. Biasakanlah untuk berpikir sejenak sebelum menjawab, berkata dan mempergunakan istilah “astungkara” ini. Jika memang anda tidak bisa untuk menerima suatu ajakan atau apapun itu, biasakanlah untuk menjawab secara jelas yakni “tidak”. Jika memang anda benar-benar bisa untuk menerima suatu ajakan atau apapun itu maka biasakanlah untuk menjawab secara jelas yakni “iya”. Jangan samarkan jawaban anda, dan membuat istilah “astungkara” sebagai tameng pelindung saat jawaban anda sudah tidak sesuai dengan realita yang anda lakukan. Biasakanlah mulai sekarang! Jika tidak, maka persepsi “ketidakpastian” akan terus menggerogoti istilah “astungkara” hingga merosot penggunaannya di masyarakat.
Dengan tanpa maksud apapun, saya harap ini bisa menjadi bahan renungan bagi diri kita semua.
iwayanbayudiatmika
iwayanbayudiatmika
“Om Santi Santi Santi Om”
infonya bagus,,
ReplyDelete:D
sekilas.. pendapat saudara benar, tetapi jika dirujuk pada ajaran agama hindu maka pandangan saudara , menurut saya agak keliru.
ReplyDeletedidalam ajaran hindu , tidak dibenarkan untuk menolak permintaan seseorang meski kita tidak bisa hadir. seseorang harus mengiyakan meski pada akhirnya tidak bisa hadir. namun perlu juga dicatat, disaat kita memang benar-benar tidak bisa hadir , hal itu harus dibicarakan juga setelah kita ketahui bahwa pada hari H ada acara lain yang tidak bisa ditinggalkan.. jadi kesimpulannya.. kita harus menyenangkan hati orang yang meminta bantuan dengan ucapan '"ya .. astungkara' kemudian menolaknya belakangan setelah dibicarakan ternyata ada acara /kewajiban lain yang tidak bisa ditinggalkan
kita bicara melalui pemahaman.
ReplyDeleteAgar tidak terjadi kekeliruan, apa tidak sebaiknya kita tidak gunakan "astungkara" terlebih dahulu. gunakan bahasa bali yang lebih sederhana .
terimakasih komentar dari teman2 :D
ReplyDeletesenang bisa bertukar pikiran dengan kalian semua.
Tulisan ini saya tulis dengan tujuan agar masyarakat tidak seenaknya mneebar janji palsu dan melibatkan istilah yang saya anggap sakral dan penuh arti ke dalam janji palsunya. Jika tidak bisa katakan tidak dan jika bisa silahkan katakan dengan tegas, "Iya, Astungkara bisa"
saya kurang setuju dengan pendapat Mertamupu di atas, merujuk pada mahabrata , kita dapat melihat bahwa mereka selalu memegang teguh setiap perkataannya terlebih-lebih terhadap janji maupun sumpahnya. Pada prinsipnya Hindu selalu mengajarkan umatnya untuk Satya dalam berwacana.
ReplyDeleteNah, mengenai permasalahan di atas, sekarang kita tinggal pintar-pintar menyikapi pergaulan sosial khususnya dalam menolak ajakan tanpa mengganggu keharmonisan hubungan dengan tidak membuat orang tersinggung, sekaligus tanpa memberikan janji.
Setuju dengan pendapat saudara, memang sudah seharusnya kita bisa satya wacana
Deleteletakkan segala sesuatu sesuai dengan disiplinnya jangan diartikan sepotong-sepotong, suksma.
ReplyDeleteterus kalau semoga bahasa balinya apa kk bayu? kalo gitu misalnya pertanyaannya kyak A sama si B? ehehe :D
ReplyDeleteSemoga itu "dumadak" bahasa balinya ming :D
Deleteiya setuju yu,, di muslim jg kyk gitu,, insyaallah jdi tameng untuk mengatakan tidak, karena saat berkta "tidak" kbnyakan org jawa itu sungkan ato tidak enak hati.. alhasil mereka lebih memilih untuk mengatakan insyaallah. pdhal arti insyaallah sndiri hmpir smdengan astungkara, jika Allah berkehendak
ReplyDeleteSaya setuju, intinya itu substansi dari kata2nya, apakah kita memang sudah benar2 tau dan mengerti substansi dari suatu kata. Supaya tidak dangkal, gersang, betul begitu yap.
DeleteSebaiknya bahasan ini tidak membawa bawa agama atau suku bangsa lain! Karena substansi dari bahasan ini adalah agama Hindu dan bahasa Bali. trm ksh.
DeleteTergantung pribadi aja satya wacana atau tidak, positif thinking aja jangsn dibuat terlalu seram...hindu sudah ada sejak dulu dan dari berbagai jaman...yang penting tujuannya baik silahkan pake astungkara...peace..
ReplyDeletemenurut saya Astungkara itu mirip denagn kata ''PUJI TUHAN '' dalam agama Kristen.
ReplyDeleteatau ''ALHAMDULILAH ''dalm agama Islam.
Ucapan Astungkara itu sebagai puji syukur kepada TUHAN IDA SANG HYANG WIDHI.atas anugrah yg telah kita dapatkan .
ulasan yang mudah dipahami, thanks.
ReplyDelete:)