Bila berdikusi tentang tema-tema
kunci yang dikandung dalam Paradigma Interpretis, Ktiris dan Posmoderen, kita
tidak akan bisa terlepas dari pendahuluan tentang pemahaman mengenai Tema Utama
yang diusung oleh Paradigma Positivisme dan Non-Positivisme (yang termasuk di
dalamnya yakni paradigma Interpretis, Ktiris dan Posmoderen). Paradigma
Positivisme dan Non-Positivisme mengusung tema utama yang berbeda, yakni
terkait dengan asumsi axiologi dari penelitian.
sumber gambar : http://bangfajars.files.wordpress.com/2010/09/research1.jpg?w=300&h=214 |
Penelitian yang dibangun dengan
dasar paradigma positivistik melarang adanya nilai dari si peneliti yang masuk
ke dalam penelitian tersebut (value-free). Nilai ditempatkan di luar kajian
penelitian (Hajaroh, Tanpa Tahun) . Penelitian
Positivistik menginginkan suatu bangun ilmu yang bersifat nomotetik (universal)
(Muhadjir (2000) dalam (Riharjo, 2011) ). Obyektifitaslah
yang ingin dikejar oleh paradigma positivistik agar mampu menghasilkan suatu ilmu
yang mampu menampilkan suatu prediksi dan hukum yang berlaku bebas waktu dan
tempat ( (Riharjo, 2011) , (Triyuwono, 2013) ). Hal ini kemudian
mengarahkan penelitian positivistik kepada penelitian yang bertujuan untuk
memverifikasi teori (Triyuwono, 2013) . Teori yang sudah
ada diuji berulang-ulang dengan tujuan memverifikasi dan menguatkan suatu
teori. Hal ini berbeda 180 derajat dengan paradigma non-positivistik.
Paradigma Non-Positivistik
menginginkan ilmu yang sarat nilai dan tidak menginginkan ilmu yang nomotetik,
statis, melainkan suatu yang dinamis. Peneliti tidak dapat dilihat terpisah
dari penelitiannya. Peneliti adalah instrumen dari penelitian (Hajaroh,
Tanpa Tahun) .
Paradigma non-positivistik memandang realitas bersifat ganda, rumit, semu,
dinamis, dikonstruksikan dan holistik, sehingga kebenaran temuan penelitian mengandung
sifat yang relatif ((Santana 2010) dalam (Riharjo, 2011) ). Paradigma
Non-Positivistik lebih mengarah pada upaya konstruksi teori (Triyuwono, 2013) . Jadi dapat saya
simpulkan pertama kali bahwa Paradigma Non-Positivistik (yakni paradigma
interpretis, kritis, dan posmodern) mengusung tema umum yakni :
- Secara asumsi axiologi, Paradigma Interpretis, Kritis, dan Posmodern memuat nilai dan bias (value laden and biased),
- Paradigma Interpretis, Kritis dan Posmodern menginginkan ilmu yang bersifat Relatif.
Bagan Tema Umum dalam Memahami Paradigma
Interpetis, Kritis, dan Posmodern (Non-Positivisme)
Kemudian lebih mendalam lagi,
masing-masing paradigma non-positivisme memiliki tema-tema utama yang
membedakan antara satu paradigma dengan paradima lainnya. Walaupun setiap
paradigma memiliki suatu tema utama yang membedakannya dengan paradigma lain,
sebenarnya seluruh paradigma tersebut (baik positivisme, interpretis, kritis,
dan posmodern) adalah eksis
keseluruhanya, tidak dapat terpisahkan, dan bersifat kontinu dan sinergis (Triyuwono,
2013) .
Pemahaman tentang tema-tema utama dari paradigma interpretis, kritis dan
posmodern dapat dilihat dari elemen ontologi, epistemologi dan metodologi yang
dicakup oleh masing-masing paradigma (Burrel & Morgan ,
1979) ,
Denzin dan Lincoln (1994:108) dalam (Hajaroh, Tanpa Tahun) , (Triyuwono, 2013) , (Riharjo, 2011) ). Ontologi adalah pertanyaan
dasar tentang hakikat realitas sosial. Epistemologi adalah pertanyaan tentang
bagimana cara manusia untuk mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara
peneliti dengan pengetahuan. Methodologi adalah pertanyaan tentang bagaimana realitas
sosial tersebut dapat diformulasikan.
Paradigma
Interpretis dikembangkan dengan metode riset kualitatif (Triyuwono, 2013) . Paradigma ini
menginginkan ilmu yang dapat menafsirkan dan memahami suatu realitas sosial dengan
tanpa adanya upaya untuk mengeneralisasi. Secara ontologi, paradigma riset
interpretis memandang realitas sosial sebagai suatu hal yang subjektif,
diciptakan (bukan ditemukan) oleh manusia, serta sarat akan simbol-simbol.
Realitas Sosial secara sadar dan secara aktif dibangun sendiri oleh manusia,
setiap manusia mempunyai potensi untuk memberikan makna-makna tentang apa yang
dilakukan (Riharjo, 2011) . Secara ontologi,
fakta sosial adalah tidak ada keberadaannya, makna-makna yang dibangun oleh
manusia lah yang kemudian membentuk realitas sosial. Dapat saya simpulkan, dari
konsep ontologi, tema utama dari paradigma riset interpretis ialah realitas
sosial diciptakan oleh manusia dengan menggunakan simbol-simbol yang dimaknai
tertentu oleh manusia. Makna-makna sosial tersebut tersembunyi sehingga
peneliti harus menggalinya untuk menemukan makna dari realitas sosial. Oleh
karena itu, secara epistemologi, tema utama dari paradigma riset interpretis
ialah penggalian makna dan pemahaman dari realitas sosial. Peneliti dengan
paradigma interpretis akan menggali makna yang tersembunyi dari realitas dan
kemudian memahaminya ( (Triyuwono, 2013) , (Burrel & Morgan ,
1979) ). Geertz dalam (Riharjo, 2011) mengatakan bahwa
tidak ada fakta sosial yang menunggu peneliti untuk diobservasi, yang ada
adalah kesiapan peneliti untuk memberikan makna atas observasinya. Ilmu
Pengetahuan yang dihasilkan oleh paradigma interpretis menekankan pada kekuatan
interprestasi atas realitas yang
diteliti dengan logika akal sehat (common sense) (Triyuwono, 2013) . Interprestasi yang
kuat ini akhirnya menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang tidak universal
(tidak dapat digeneralisasi), sangat bersifat lokal, unik, dan value ladden
(seperti tema umum dari paradigma non-positivistik). Secara metodologi, saya
simpulkan bahwanya tema utama paradigma riset interpretis ialah prosedur
induktif dan keahlian interprestasi dari realitas sosial. Untuk mencapai
interprestasi yang kuat, riset interprestis sering kali menggunakan teori-teori
lain di luar suatu bidang disiplin ilmu yang ingin diteliti sebagai alat
analisis. Teori-teori yang biasanya digunakan dalam riset interpretis ialah
seperti teori fenomenologi, teori etnografi, teori hermeneutika, dan
lain-lainnya. Oleh karena itulah, riset interpretis umumnya dilakukan dengan
desain penelitian Fenomenologi, Etnografi, Etnometodologi, Narasi, Studi kasus,
dan Grounded Theory (Triyuwono, 2013) serta Hermeneutik
dan Interaksi Simbolik (Riharjo, 2011) .
Paradigma
Kritis bertujuan untuk mencapai suatu pembebasan atas ketidakadilan dan
melakukan perubahan. Burrel & Morgan (1979) mengatakan bahwa paradigma
kritis menginkan pencapaian untuk membebaskan (to emancipate) dan mengubah (to
transform). Penelitian Kritis beranjak dari adanya ketidakadilan di masyarakat
(bukan saja hanya dari segi politik melainkan dari berbagai bidang). Oleh
karena itu, yang dapat kita pahami dari konsep ontologis paradigma ini ialah
memandang realitas sosial sebagai adalah bentuk dari penindasan terhadap
sekelompok orang sehingga suatu upaya untuk membebaskan, memberikan keadilan,
dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik kepada sekelompok orang
tersebut adalah penting. Dari konsep ontologi, paradigma ini menilai objek atau
realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara
benar oleh pengamatan manusia. Jadi secara ontologi, tema utama dari paradigma
kritis ialah realitas sosial adalah suatu bentuk penindasan dan ketidakadilan
pada kepentingan sekelompok orang sehingga suatu perubahan radikal (radical
change) dalam wilayah garis kontinum obyektif dan subyektif diperlukan ( (Triyuwono, 2013) , (Burrel & Morgan , 1979) ). Ketidakadilan yang
ada harus diatasi dan menemukan perubahan, oleh karena itu secara epistemologi,
paradigma ini memandang hubungan antara peneliti dengan realitas sosial
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, karena itu, paradigma kritis menekankan
pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena
nilai-nilai yang dianut oleh peneliti akan ikut campur dalam menentukan kebenaran
tentang suatu hal (Riharjo, 2011) . Paradigma ini sarat
dengan nilai dan kepentingan-kepentingan. Jadi dapat saya simpulkan bahwa, secara
epistemologi, tema utama paradigma ini ialah subjektifitas peneliti untuk
menemukan keadilan dan di dalamnya akan terkandung kepentingan-kepentingan
kelompok-kelompok orang tertentu. Kemudian secara metodologi, dalam mengusung
paham keadilan dalam paradigma ini, paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi
untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki (Riharjo, 2011) . Berlanjut dari hal
itu, desain penelitian dari paradigma ini umumnya dilakukan dengan Studi kasus,
kritis, aksi, feminis, dan etnografi kritis serta menggunakan teori-teori
seperti Teori Komunikasi Aksi Habermas, Psikoanalisis, Teori Marxis, Hermeneutika
Kritis, dan Ekonomi Politik sebagai alat analisisnya. Kunci Utama dari konsep
metodologi paradigma ini ialah penggalian dengan kritis yang dilakukan peneliti.
Paradigma
Posmodern ialah paradigma yang bertujuan untuk mendekonstruksi suatu ilmu
pengetahuan dengan suatu cara berpikir yang kompleks dan menggabungkan berbagai
ilmu dan pemikiran, baik yang bertentangan dan tidak bertentangan (Triyuwono,
2013) .
Dalam sudut pandang ontologi, realitas sosial dipandang sebagai suatu hal yang
majemuk dan kompleks. Oleh karena kompleksitas tersebut, realitas sosial
harusnya tidak boleh dilihat dari suatu suatu sudut pandang yang tunggal semata
(pemikiran modern) melainkan harus menyertakan juga cara pandang lainnya yang
mungkin cenderung dilupakan selama ini. Paradigma Posmodern akhirnya sering
memasukan unsur mental dan spiritual dalam penelitian ilmu pengetahuan. Begitulah
secara epistemologi paradigma posmodern memandang ilmu pengetahuan, yakni ilmu
pengetahuan disusun dari berbagai ilmu yang kompleks dan diformulasikan secara
kompleks (di-mix sedemikian rupa) pula sehingga suatu ilmu pengetahuan yang
holistik dapat dibangun oleh manusia. Pengetahuan menurut paradigma ini
bersifat majemuk, komlpleks, dan sarat nilai (Triyuwono, 2013) . Oleh karena itulah,
secara metodologi, paradigma ini mensyaratkan upaya peneliti untuk melakukan
studi dengan pengkombinasian suatu teori dengan beberapa teori lainnya (wilayah
interpretivis dan kritis dengan budaya, agama, dan lain-lainnya) sehingga
menciptakan suatu bangun teori yang kompleks. Desain penelitian posmodern
umumnya berbentuk Studi kasus, feminis, narasi dan diskursus. Sebuah contoh
penelitian posmodern ialah penelitian dari (Ludigdo &
Kamayanti, 2012)
yang memasukkan nilai budaya Indonesia berupa Pancasila ke dalam Etika Praktisi
Akuntansi sebagai formula pembebasan imperiallisme. Khusus untuk penyentuhan
ranah spritualis, dalam penelitian dikenal satu lagi paradigma yakni Paradigma
Spiritualis yang lebih menonjolkan pada epistemologi kesatuan peneliti dengan
Ilahi. Paradigma Posmodern dan Spiritualis memang terkadang sangat sulit untuk
dibedakan karena kemiripannya. Namun, tema utama yang diusung oleh paradigma
spiritualis ialah pemikirannya untuk mengenyampingkan kepentingan sekulerisme
dan mencapai kesadaran Ilahi. Ada banyak penelitian yang menggabungkan antara
posmodernisme dan spiritualis yakni contohnya penelitian akuntansi tentang
Akuntansi Syariah (yang ditulis oleh Prof. Iwan Triyuwono) yang menurut saya
adalah penelitian dengan paradigma posmodern spiritualis.
Daftar Rujukan Referensi :
Burrel, G., & Morgan , G. (1979). SOCIOLOGICAL
PARADIGMS AND ORGANISATIONAL ANALYSIS. US Amerika: British Library.
Creswell, J. W. (2007). QUALITATIVE INQUIRY &
RESEARCH DESIGN-Choosing Among Five Approaches. London: Sage Publications.
Hajaroh, M. (Tanpa Tahun, April 14). PARADIGMA,
PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN FENOMENOLOGI.
Hines, R. D. (1988).
FINANCIAL ACCOUNTING : IN COMMUNICATING REALITY, WE CONSTRUCT REALITY. Accounting, Organizations and Society
Volume 13, 251-261.
Ludigdo, U., & Kamayanti, A. (2012). PANCASILA AS
ACCOUNTANT ETHICS IMPERIALISM LIBERATOR. World Journal of Social Sciences
Volume 2, 159-168.
Riharjo, I. B. (2011). MEMAHAMI PARADIGMA PENELITIAN
N0N-POSITIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENELITIAN AKUNTANSI. JURNAL
AKUNTANSI, MANAJEMEN BISNIS DAN SEKTOR PUBLIK (JAMBSP) Volume 8, 128 – 146.
Sekaran, U. (2003). RESEARCH METHOD FOR BUSINESS.
USA Amerika: John Willey and Sons.
Triyuwono, I. (2013, September 25‐27). [MAKRIFAT] METODE
PENELITIAN KUALITATIF [DAN KUANTITATIF] UNTUK PENGEMBANGAN DISIPLIN AKUNTANSI. Simposium
Nasional Akuntansi ke‐16.
0 comments :
Post a Comment