|
Gambar penulis dan Ni Luh Tangkas Febriyanti di sepanjang Pantai Nusa Dua Bali |
Hidup itu bagaikan menaiki sepeda. Roda Sepeda berputar seperti kehidupan, kadang di bawah, kadang di atas. Kayuh pedalnya semakin keras maka semakin cepat jalannya, hidup semakin giat berusaha, maka semakin bahagia kita mencapai cita-cita. Menaiki sepeda di pantai itu susah, apalagi di bagian pasirnya. Berat memang, tp angin pantai akan menyejukkan peluh keringatmu. Pemandangan sekitar akan menyejukkan matamu. Debur ombak dan birunya air laut akan membahagiakanmu. Pelukan erat wanita di boncengan akan menenangkanmu.
Kamulah nahkoda dari sepedamu, wanita itu adalah tanggung jawabmu tetapi berdua adalah tim yang saling mendukung. Jika yang dibonceng tidak mau diam, rewel dan selalu bergerak saat dibonceng, maka sepeda akan jatuh. Ia harus percaya pada si pengemudi sepeda. Begitulah hidup, wanita diciptakan untuk mempercayai laki-laki yang dipilihnya untuk membawanya hidup dalam keabadian. Yang di depan dan belakang harus saling mendukung agar sepeda bisa berjalan lurus di beratnya medan pasir pantai. Kelak di depan sana ada sebuah tujuan nan indah yang menjadi harapan mereka berdua untuk dicapai.
Walaupun tiba saatnya dimana uang sudah banyak untuk membeli mobil, jangan tinggalkan sepeda, karena sepedalah wahana untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Sepeda merupakan lambang kesederhanaan yang harus dijaga dalam keabadian berpasangan, sampai akhirnya maut tiba memanggil kedua orang tersebut untuk kembali kepadaNya. Walau sudah tidak ada di pantai lagi, namun sepeda itu tetap dapat dilihat oleh orang-orang. Kesederhanaan itu tetap bisa dikagumi orang-orang dan menjadi inspirasi hidup mereka.
0 comments :
Post a Comment